Headshot yang dibintangi Iko Uwais disebut-sebut perpaduan The Bourne Identity dengan Taken.
Film laga produksi Indonesia, Headshot, jadi bagian TIFF (Toronto International Film Festival) yang berlangsung 8-18 September 2016. Film ini diputar dalam sesi Midnight Madness di TIFF setelah sebelumnya diputar perdana di Festival Film Venice yang berlangsung dari akhir Agustus hingga minggu pertama September lalu.
Mengusung genre laga thriller, sejumlah media mengomentari Headshot sebagai “perpaduan The Bourne Identity dengan Taken.” Mereka juga mengaitkan Headshot dengan The Raid, film laga yang juga dibintangi Iko Uwais meski dibesut sutradara berbeda.
Headshot dibesut sutradara Mo Brothers (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto), yang pernah menggarap Macabre dan Killers. Timo juga pernah menulis adegan untuk segmen “Safe Haven” di The Raid bersama sutradara Gareth Evans.
Selain pernah tampil di The Raid yang cukup lekat dalam ingatan publik internasional, Uwais juga bermain dalam Star Wars: The Force Awakens. Citra Uwais sebagai bintang laga baru dan khas Asia makin dikenal karena memiliki gaya tersendiri yang tak dimiliki aktor Hollywood. Bisa jadi, ini merupakan daya tarik tersendiri bagi penggemar dan para kritikus.
Film ini didukung Julie Estelle -- pernah bekerja sama dengan Mo Brothers dalam Rumah Dara dan jadi lawan main Uwais dalam The Raid 2: Berandal -- dan aktris yang sedang naik daun, Chelsea Islan, serta aktor Very Tri Yulisman dan mantan pesinetron remaja Zack Lee. Keikutsertan aktor asal Singapura, Sunny Pang, menambah wajah Asia bagi film ini.
Headshot mengisahkan seorang pria (Iko Uwais) yang terbangun di rumah sakit tanpa bisa mengingat siapa dan apa yang terjadi pada dirinya. Ia dirawat mahasiswi kedokteran Ailin (Chelsea Islan), yang menamainya Ishmael dan berusaha memulihkan ingatannya. Ternyata, banyak orang menginginkan kematiannya, termasuk Lee (Sunny Pang), si gembong narkoba. Aksi laga seru dimulai ketika Ailin diculik, dan Ishmael bertarung menyelamatkannya. Perlahan, ingatannya pulih seiring pertarungan yang dilibatinya.
Di Indonesia, film ini dirilis pada 16 Desember tahun ini, menyusul sejumlah negara lain.
Dalam kategori film pendek, Indonesia diwakili On the Origin of Fear besutan sutradara Bayu Prihantoro Filemon, alumnus Asian Film Academy, Busan International Film Festival. Meski pernah terlibat dalam belasan film, ini debutnya sebagai sutradara. Seperti halnya Headshot, On the Origin of Fear sebelumnya diputar di Festival Film Venice, baru kemudian di TIFF.
“Film ini yang saya dedikasikan untuk generasi muda Indonesia. Ini tentang saya, tentang generasi saya; bagaimana saya dan anak muda jadi saksi peristiwa tragedi 1965 versi sejarah resmi pemerintah, yang dibangun melalui reproduksi sinematis atas teror dan rasa takut," ungkap sutradara Bayu Prihantoro Filemon, pada para jurnalis.
On the Origin of Fear adalah film tentang seorang pengisi suara yang memerankan korban sekaligus pelaku pada saat bersamaan. Sebuah film yang lahir dari trauma sang sutradara melihat kekerasan dalam Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer pada masa Orde Baru dan jadi “film wajib tonton” tiap 30 September.
Kabar baik tentang kiprah sineas kita di ajang internasional, sungguh layak kita apresiasi. Selamat untuk Mo Brothers dan Bayu Prihantoro!