Cinta, tema paling universal dan dominan di banyak novel dan film, adalah tema yang tak pernah habis digali. Sayangnya, sejumlah chick-lit laris yang diangkat ke layar lebar sering berakhir gagal; jika tidak secara artistik, ya secara komersial, atau keduanya. Alhasil, sejumlah film drama romantik cukup membosankan dinikmati karena menyajikan cerita stereotipe, alur mudah ditebak, dan kemampuan akting pemerannya yang tak layak diapresiasi.
Film Me Before You mencoba sedikit beda. Berdasarkan novel laris berjudul sama karya Jojo Moyes, film besutan sutradara Thea Sharrock ini mengisahkan seorang gadis yang baru dipecat, dan akhirnya dipekerjakan sebagai teman untuk mantan bankir tampan dan kaya, yang menjalani hidupnya di atas kursi roda setelah kecelakaan motor dua tahun sebelumnya.
Me Before You cukup menguji kepiawaian akting Emilia Clarke dan Sam Claflin, aktris dan aktor asal Inggris. Clarke pertama kali mencuri perhatian publik lewat aktingnya dalam Game of Thrones (2011). Sementara Claflin mulai dikenal publik pada 2011 lewat perannya dalam Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides (2011), White Heat (2012), Snow White and the Huntsman (2012). Ia juga ambil bagian dalam sekuel The Hunger Games: Catching Fire (2013), The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 (2014), dan The Hunger Games: Mockingjay Part 2(2015).
Lalu, apa yang membedakan film ini dengan sejumlah chick-lit, macam karya Nicholas Sparks, yang kemudian diangkat ke layar perak? Jika banyak adaptasi chick-lit dikritik karena menampilkan cerita dan konflik gampangan, tak demikian halnya dengan Me Before You. Meski alur ceritanya tak sama sekali baru, kebaruan justru bukan jadi persoalan di sini. Will, yang diperankan Sam Claflin, menganggap penderitaannya menjadi beban semua orang dan dirinya sendiri. Secara mental, ia bahkan siap mati. Lou, diperankan Emilia Clarke, diminta membantu keinginan pria yang tinggal di kastil itu.
Setelah dirilis pada 2 Juni 2016 di sejumlah negara, Me Before You dikritik sejumlah pihak – di antaranya ikatan masyarakat disabilitas -- karena “akhir cerita yang menggelisahkan.” Lalu, seperti apa akhir kisah film ini? Adakah Anda juga akan menjadi gelisah dan tak sepaham? Pada saatnya, Anda memang harus menonton sendiri!